Self Assesment Pada Sistem Perpajakan di Indonesia

Self Assesment Pada Sistem Perpajakan di Indonesia

Self assessment yaitu sistem pemungutan pajak yang memberikan kepercayaan dan tanggung jawab kepada wajib pajak untuk secara sukarela mendaftarkan diri mereka sendiri agar dapat memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan mengurus semua kewajiban perpajakan mereka secara independen.

Pengertian Self Assessment

Menurut definisinya, dalam sistem ini, wajib pajak akan mengambil inisiatif untuk menghitung dan mengumpulkan pajak mereka sendiri. Dalam konteks ini, DJP menganggap wajib pajak mampu menghitung pajak, memiliki integritas yang tinggi, menyadari pentingnya membayar pajak, dan memahami undang-undang perpajakan yang berlaku.

Lihat Juga : Jasa Pendampingan Pemeriksaan Pajak

Kelebihan dan Kekurangan Self Assessment

Dalam implementasinya, sistem self assessment memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dari sistem ini adalah efektivitas dalam pemungutan pajak karena wajib pajak melakukan perhitungan pajak secara mandiri. Dampak positif dari sistem ini adalah mendorong kepercayaan wajib pajak terhadap mekanisme perpajakan di Indonesia, sehingga kewajiban perpajakan dapat dipenuhi dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan dalam laporan SPT.

Namun, di balik kelebihannya, tentu ada kekurangannya. Bagi wajib pajak yang tidak memiliki pengetahuan tentang perpajakan, akan sulit untuk melakukan serangkaian prosedur perhitungan, pembayaran, dan pelaporan pajak. Wajib pajak mungkin akan mengalami kesulitan dan mungkin salah dalam menghitung jumlah pajak yang harus mereka bayar. Dampak negatif dari self assessment ini adalah kemungkinan adanya tunggakan pajak. Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah ini adalah berlakunya pemeriksaan dan penagihan pajak.

Dapatkan Panduan Ahli Dan Solusi Terpersonalisasi Untuk Mengoptimalkan Potensi Keuangan Anda Dengan Bantuan Konsultan Pajak Handal Kami.
Konsultan Pajak Bogor

Dasar Hukum

Pemberlakuan self assessment telah menjadi karakteristik dan keunikan dari sistem pemungutan pajak di Indonesia. Dasar hukum untuk hal ini adalah UU KUP No. 6 Tahun 1983, yang kemudian mengalami penyempurnaan melalui Undang-Undang No. 16 Tahun 2009.

Selain itu, Pasal 12 ayat (1) UU KUP juga mengatur sistem pembayaran pajak. Pasal ini menjelaskan bahwa sistem ini memberikan peran yang lebih aktif kepada wajib pajak dalam proses pemungutan pajak. Sementara itu, pemerintah atau institusi yang bertugas mengumpulkan pajak hanya berperan sebagai pengawas dan penegak hukum. Namun, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tetap memiliki kewenangan untuk mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dalam kasus-kasus tertentu. Contohnya, ketika wajib pajak tidak memenuhi kewajiban formal dan/atau kewajiban material berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain.

Hal ini juga terdapat dalam Pasal 13 ayat (1) UU KUP, yang memberikan DJP waktu 5 tahun setelah pajak terutang atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak untuk mengeluarkan SKPKB dalam situasi-situasi berikut ini:

  1. Jika berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain bahwa pajak yang terutang tidak atau kurang bayar. 
  2. Bila penyampaian SPT tidak sesuai dengan tenggat waktu berdasarkan UU KUP (Pasal 3 ayat (3)) dan mendapat teguran secara tertulis tidak menyampaikan tepat waktu sebagaimana tertulis pada Surat Teguran
  3. Jika berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lainnya mengenai PPN dan PPnBM ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisi lebih pajak atau tidak seharusnya dikenai tarif 0%. 
  4. Jika kewajiban pembukuan dan pencatatan (Pasal 28 atau Pasal 29 UU KUP) tidak dipenuhi sehingga tidak sempat diketahui besarnya pajak terutangnya. 
  5. Jika kepada wajib pajak diterbitkan NPWP dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) secara jabatan (Pasal 2 ayat (4a) UU KUP).

Lihat Juga : Mengenal PPN dan PPh

Mengapa Indonesia Menerapkan Self Assessment System

Pajak merupakan sumber pendapatan yang sangat penting bagi negara dalam rangka mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat serta untuk menjalankan pemerintahan dan pembangunan negara. Oleh karena itu, negara memerlukan sistem pemungutan pajak yang tepat guna memastikan bahwa wajib pajak memenuhi kewajiban mereka dalam membayar pajak dengan baik, benar, dan jelas. Selain itu, sistem ini juga bertujuan agar semua proses dan alur pemungutan pajak berjalan dengan teratur dan terorganisir.

Di Indonesia, sistem pemungutan pajak telah mengalami beberapa kali perubahan. Hal ini menyesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat pada saat itu. Pada masa lampau, Indonesia menerapkan sistem pemungutan pajak official assessment, di mana fiskus atau petugas administrasi pajak memiliki wewenang untuk menentukan besaran pajak yang harus wajib pajak bayar. Namun, sistem ini berubah ketika Indonesia mengalami reformasi perpajakan pada tahun 1983.

Sejak saat itu, Indonesia beralih ke sistem self assessment yang masih berlaku hingga sekarang. Pemerintah memutuskan untuk memberikan kepercayaan kepada wajib pajak dalam menentukan jumlah pajak yang harus mereka bayar. Dengan adanya sistem ini, wajib pajak berharap dapat melaksanakan kewajiban mereka kepada negara dengan lebih mudah tanpa merasa terbebani. Meskipun demikian, sistem ini tetap menimbulkan keterpaksaan tidak langsung bagi wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan mereka secara sukarela. Contoh dari sistem self assessment ini adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh).

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top